Pada era
kerasulan Musa, hidup seorang nabi bernama Khidir. Asal usulnya tak
jelas. Ada
yang mengatakan, ia merupakan keluarga Dzulqarnain, ada pula
yang mengatakan, ia keturunan bangsa Persia dan Romawi. Beberapa
menyebut, Khidir merupakan nama julukan dari pria kalangan biasa bernama
Balya bin Malkan.
Entah siapa
Khidir tersebut, sosoknya begitu misterius. Ia pun dikisahkan dalam
sebuah perjalanan Musa yang penuh hal ajaib, luar biasa, dan tentunya
penuh misteri.
Suatu hari,
seorang dari Bani Israil menemui Musa dan kemudian bertanya, “Wahai
Nabiyullah, adakah di dunia ini orang yang lebih berilmu darimu?”
ujarnya. Tersentak, Nabi Musa pun jelas menjawab, “Tidak.” Tentu saja,
siapa yang mampu menandingi ilmu Musa, utusan Allah kala itu. Sumber
tuntunan agama dan sumber pengetahuan wahyu Allah ada di genggaman Musa.
Ia memiliki Taurat dan beragam mukjizat dari-Nya.
Namun,
rupanya Allah memiliki hamba lain selain Musa yang lebih berilmu. Allah
pun mewahyukan pada Musa bahwa tak seorang pun di muka bumi yang mampu
menguasai semua ilmu. Tak hanya Musa, di belahan bumi lain pun terdapat
seorang yang memiliki ilmu luar biasa.
Ilmu itu tak
dimiliki Musa sekalipun. Orang itu juga seorang nabi. Mengetahui hal
tersebut, sontak Musa pun ingin berguru pada orang tersebut. Ia
bersemangat ingin menuntut ilmu dan menambah pengetahuanya.
“Ya Allah,
di mana orang ini bisa saya temui? Saya ingin bertemu dengannya dan
belajar darinya,” tanya Musa antusias. Nabi Musa sendiri dikenal dengan
keistimewaan sebagai nabi yang bisa berbicara langsung dengan Allah
tanpa perlu perantara malaikat. Allah pun menunjukkan sebuah tempat di
mana Musa dapat menemui orang berilmu tersebut.
Di pertemuan
antara dua lautan, demikian lokasi ahli ilmu itu. Agar lebih yakin dan
tak salah mengenali orang, Musa pun meminta tanda identitas orang
tersebut. Allah pun memerintahkan Musa membawa seekor ikan dalam wadah
berisi air. Ikan tersebut akan menunjukkan arah di mana keberadaan sang
ahli ilmu Khidir.
Berangkatlah
Musa menyusuri lautan, mencari keberadaan Khidir. Ia ditemani muridnya
yang terkenal setia Yusya bin Nun. Yusya lah yang membawa bejana berisi
ikan yang akan menghantarkan Musa pada Khidir.
Setelah
menempuh perjalanan cukup jauh, keduanya tak juga menemukan Khidir.
Meski lelah, keduanya tetap melanjutkan perjalanan. “Aku tak akan
berhenti sebelum sampai ke pertemuan dua lautan atau aku akan berjalan
sampai bertahun-tahun,” ujar Musa pada Yusya.
Perjalanan
telah jauh, tapi Khidir tak juga dijumpai. Musa pun memutuskan untuk
sejenak beristirahat di sebuah batu besar di tepi sungai. Kelelahan,
Musa pun tertidur. Saat Musa terlelap, Yusya melihat ikan dalam bejana
tersebut meloncat keluar dari bejana ke arah sungai. Tapi, Yusya lupa
mengabarkannya pada Musa. Saat Musa bangun, keduanya pun melanjutkan
perjalanan tanpa ingat panduan sang ikan.
Pejalanan
melelahkan keduanya hingga mereka merasa lapar. Ketika Musa menanyakan
bekal untuk makan, Yusya baru teringat pada si ikan. “Saat kita
istirahat di batu tadi, sungguh aku benar-benar lupa mengabarkan tentang
ikan itu.
Tidaklah
yang melupakanku untuk mengabarkannya padamu kecuali syaitan. Ikan itu
kembali ke laut dengan cara yang aneh sekali,” ujar Yusya. Musa pun
langsung mengetahui itu adalah sebuah tanda, “Itulah tempat yang kita
cari,” ujar Musa bersemangat.
Lupa sudah
rasa lapar tadi, keduanya pun kembali ke arah semula tempat mereka
beristirahat. Sampailah mereka pada tempat yang mereka tuju dan bertemu
sosok pria yang wajahnya tertutup sebagian oleh kudung. Sikapnya tegas
menunjukkan kesalehannya. Pria itulah Khidir. “Bolehkah aku mengikutimu
agar kau bisa mengajarkanku sebagian ilmu di antara ilmu-ilmu yang kau
miliki?” ujar Musa kepada Khidir.
Apa jawab
Khidir kepada Musa? “Sungguh kau tak akan sanggup untuk sabar jika
bersamaku. Bagimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum
memiliki pengetahuan yang cukup tentang itu,” kata Khidir.
Bukan Musa
kalau langsung patah semangat dengan penolakan halus itu. “Insya Allah,
kau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar. Aku tak akan menentangmu
dalam urusan apa pun,’” ujarnya. Mendengar ketekadan hati Musa, Khidir
pun akhirnya mengizinkan Musa mengikutinya. Tapi, dengan syarat, “Jika
kau mengikutiku, jangan menanyakan suatu apa pun padaku sampai aku yang
menerangkannya padamu,” kata Khidir.
Musa girang
dapat mengikuti Khidir. Artinya, ia dapat menuntut ilmu dari Khidir.
Pergilah Khidir dan Musa menumpang sebuah perahu. Tapi, ketika perahu
itu hampir mendarat, Khidir melubangi perahu tersebut. Musa kaget, ia
pun berkata, “Mengapa kau lubangi perahu ini. Kau akan membuat penumpang
tenggelam. Kau telah melakukan sebuah kesalahan besar.”
Khidir hanya
menjawab, “Bukankah aku telah berkata bahwa kau tak akan sabar
bersamaku.” Musa pun teringat janjinya tak akan menanyakan apa pun. Ia
pun menyesali ucapannya. “Jangan hukum aku atas lupaku dan jangan bebani
aku dengan kesulitan urusan,” kata Musa.
Keduanya pun
melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan seorang
anak. Mengagetkan, Khidir kemudian membunuhnya. Musa yang sifatnya
spontan langsung bereaksi. “Mengapa kau bunuh jiwa yang bersih? Dia tak
membunuh orang lain. Sungguh, kau melakukan suatu yang mungkar,” protes
Musa.
Lagi-lagi,
Khidir hanya menjawab, “Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa kau
sungguh tak akan sabar bersamaku?” Musa pun kembali teringat janjinya.
Dia pun memendam rasa amarah sekaligus herannya atas kelakuan Khidir.
“Jika setelah ini aku bertanya kembali padamu, jangan kau izinkan aku
lagi mengikutimu. Sungguh, kau cukup memberiku uzur,” kata Musa.
Perjalanan
keduanya dilanjutkan. Tibalah mereka di sebuah negeri. Tapi, tak ada
satu pun penduduk negeri yang berkenan menjamu mereka. Lagi, Khidir
melakukan perbuatan yang tak masuk akal bagi Musa. Kali ini khidir tidak
melakukan perbuatan mungkar di negeri tersebut, ia justru memperbaiki
dinding sebuah rumah yang hampir roboh. “Jika kau mau, kau dapat
mengambil upah karena telah memperbaiki itu,” ujar Musa.
Lupa sudah
Musa akan tekadnya untuk diam tak mengomentari ulah Khidir. Sesuai
ucapan Musa, ia pun tak lagi mendapat pengecualian. Sudah tiga kali Musa
mempertanyakan sikap Khidir. “Inilah perpisahanku denganmu,” kata
Khidir.
Sebelum
berpisah, Khidir pun menjelaskan maksud dibalik perbuatan yang Musa tak
sabar atasnya. “Aku akan memberitahu tujuan perbuatanku. Perahu itu
adalah milik orang miskin yang bekerja di laut. Aku merusak perahu
mereka karena mereka dihadapkan pada seorang raja yang merampas setiap
perahu,” kata Khidir.
Betapa ilmu
Khidir benar-benar luar biasa. Ilmu tersebut membuatnya sangat bijak.
Bayangkan jika Khidir tak melubangi perahu itu, orang miskin tersebut
akan kehilangan tak hanya perahu, tapi juga mata pencaharian mereka.
Dengan perahu yang berlubang, raja lalim mana yang suka untuk
mengambilnya.
Itu baru
satu kisah. Kisah selanjutnya, Khidir menjelaskan, “Adapun anak itu,
kedua orang tuanya merupakan Mukminin. Kami khawatir, dia akan mendorong
kedua orang tuanya pada kesesatan dan kekafiran. Dan, kami menghendaki
supaya Rabb mengganti anak lain untuk mereka yang lebih baik, suci, dan
lebih sayang pada ibu bapaknya,” ujar Khidir.
Tahulah Musa
bahwa ilmu yang dimiliki Khidir benar-benar luar biasa. Ia mengetahui
hal misterius dan mengambil kebijaksanaan atasnya. Kisah terakhir,
“Dinding rumah itu merupakan milik dua anak yatim di negeri tersebut. Di
bawahnya tersimpan harta benda simpanan sang ayah untuk keduanya.
Ayahnya adalah seorang yang shalih. Rabbmu menghendaki agar mereka
sampai dewasa dan mengeluarkan simpanan itu sebagai rahmat Rabbmu,”
jelas Khidir.
Terjawablah
semua pertanyaan Musa atas sikap Khidir. Musa pun kagum dengan ilmu yang
diajarkan Allah kepada Khidir. “Tidaklah aku melakukannya menurut
kemauanku sendiri,” pungkas Khidir yang menunjukkan betapa dia memiliki
ilmu yang luar biasa dari rahmat Allah.
Perjalanan
Musa dan Khidir tersebut dikisahkan dalam Alquran surah al-Kahfi ayat 60
hingga 82. Rasulullah pun mengisahkannya dalam sebuah hadis riwayat
Ubai Ibn Ka’ab yang tercantum dalam Shahih Al Bukhari. Ibnu Katsir
menjelaskan kisah dengan rinci melalui hadis tersebut.
Di akhir
hadis, Rasulullah bersabda, “Kami berharap, Musa dapat sabar dengan
kebajikan yang mana Allah mungkin akan memberitahu kami lebih banyak
tentang kisah ini. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada Musa,” sabda
Rasulullah.
Adapun dalam
al-kitab atau Injil Perjanjian Lama, tokoh Khidir tak disebut-sebut
meski kisahnya terjadi di masa Bani Israil. Tapi, beberapa dari
cendekiawan Bani Israil menganggap, Khidir merupakan Elia atau Ilyas.
Beberapa mereka juga mengenal Khidir dengan sebutan St George. Dalam
buku Mystical Dimensions of Islam karya Annemarie Schimmel, kisah Khidir
termasuk di dalamnya dan disebut sebagai sosok yang kekal dan belum
wafat hingga kini sebagaimana Nabi Isa.
Tapi,
legenda mengenai kekalnya Khidir tersebut tampaknya hanyalah dongeng
belaka. Ibnul Qayyim dalam kitabnya al-Manarul Munif fil Hadits-Shahih
wa Dhaif menyebutkan bahwa tak ada riwayat shahih yang menyebut bahwa
Khidir masih hidup.
Hikmah di Balik Kisah Nabi Khidir
Terdapat
banyak hikmah dari kisah Khidir , salah satunya, yakni menuntut ilmu.
Dalam Islam, menuntut ilmu merupakan perkara wajib. Tampak dalam kisah
betapa Nabi Musa sangat antusias menuntut ilmu. Bahkan, meski
kedudukannya saat itu merupakan nabi ia tak segan untuk terus menuntut
ilmu.
Beliau
bahkan bersedia menempuh perjalanan panjang demi bertemu sang guru.
Beliau yang berstatus tinggi sebagai nabi, bahkan bersedia merendahkan
diri dihadapan sang guru. Alasannya, karena ilmu memiliki kedudukan
tinggi dalam Islam.
Allah
berfirman dalam surah al-Mujadilah ayat 11, “Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi
ilmu (agama) beberapa derajat.” Banyak ayat yang menyatakan keutamaan
ilmu dan kewajiban menuntutnya. Dalam hadis, Rasulullah pun sering
mengingatkan umatnya untuk menuntut ilmu. Beliau pun menyatakan
keutamaan ilmu bagi para Muslimin.
Dalam hadis
riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abud Darda menceritakan bahwa
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia
mencari ilmu, Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan
(menuju) jannah dan sesungguhnya para malaikat benar-benar akan
meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu.
Dan,
sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh
makhluk-makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang
ada di tengah lautan pun memintakan ampun untuknya. Dan, sesungguhnya
keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah adalah
seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang dan
sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi dan para Nabi tidaklah
mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka hanyalah mewariskan
ilmu. Maka, barangsiapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil
bagian yang sangat banyak.”
sumber : http://kaumberpikir.blogspot.com/2013/02/hikmah-di-balik-kisah-nabi-khidir.html
0 komentar:
Posting Komentar